Langsung ke konten utama

DILAN 1990 Review : 6/10


Akhirnya, DILAN 1990 tayang di bioskop ! Sudahkah kau menonton filmnya ? Bagaimana menurutmu ?

Aku menonton Dilan 1990 di hari pertama Februari, satu pekan setelah tayang 25 Januari lalu. Penuh perjuangan dan demi-demi yang tidak  akan kuceritakan tersebab pendahuluan kali ini tidak sepanjang biasanya dan yang akan kubahas adalah Iqbaal sebagai Dilan (melanjutkan tulisanku tentangnya di sini), chemistry antara Iqbal dan Vanesha sebagai pemeran Dilan dan Milea, kesesuaian dengan novelnya, serta berbagai komentar yang mungkin akan sangat subjektif. (AKAN-SANGAT-SUBJEKTIF).

---
DUH CAKEP BANGET GASIIII ?

Pertama
mungkin akan kukomentari filmnya terlebih dahulu. Awalnya aku terganggu karena begitu banyak iklan yang cukup menyita waktuku. Mungkin akan berbeda ketika kalian menonton (atau sama?). Namun kekesalan ini menjadi sedikit menghilang ketika melihat wajah Iqbaal dengan senyuman manis meminta maaf tidak bisa hadir ikut menonton bersama karena harus melanjutkan pendidikannya. Bagian ini memberikan kesan pertama yang baik, seakan-akan semua penonton sangat spesial. Bagian ini juga diiringi oleh teriakan-teriakan "aaaa" dari penonton lain yang jelas bukan aku.

---

Cerita diawali dengan narasi oleh seorang perempuan yang duduk di depan laptop, yang mengisahkan dirinya sebagai prolog, sesuai novel. Dilanjutkan dengan adegan ramalan, undangan, angkot, hingga pada jadian (NO SPOILER TODAY GUYS !) yang keseluruhannya sudah mendeskripsikan novelnya. Meskipun tidak persis sama dan terdapat beberapa pengurangan, hal ini tidak begitu berarti (meski sejujurnya bagiku sangat berarti). Adegan-adegannya juga berjalan lancar, tidak terlalu banyak pengurangan atau penambahan yang mengganggu. Bagi kalian yang belum membaca novelnya, film ini sudah cukup menggambarkan kisah Dilan-Milea secara umum (karena banyak sekali detail-detail yang tidak kau temui di film!). Aku maklum saja jika ada yang kurang, ada yang dilebihkan, atau ada yang seharusnya begini malah begitu. Bahkan sekelas Harry Potter saja tidak persis sama dengan novelnya. Jadi kesimpulannya, film ini sudah cukup baik untuk sebuah film adaptasi. 

Beberapa cuplikan adegan Dilan 1990

Terkait film ini, terdapat beberapa bagian yang kutandai. Pertama, pembaca narasi (narator), suaranya tidak konsisten. Di beberapa bagian terdengar seperti suara Vanesha, di bagian lain suara wanita lain yang lebih dewasa (semoga aku tidak salah dengar). Kedua, tokoh Susiana yang hanya sedikit sekali mengambil peran (hanya diperbincangkan dan muncul satu kali). Padahal, Susiana yang menyukai Dilan memiliki peranan yang cukup penting : menimbulkan rasa insecurity pada diri Milea yang tidak begitu terlihat di film ini. Ketiga, adanya bagian novel yang tidak dimunculkan atau hanya muncul sedikit saja, seperti bagian Syukuran yang tidak dimunculkan sama sekali, Pendapatku tentang Beni yang hanya sepintas saja (tidak sejelas di novel), dan Pergi dengan Kang Adi yang adegannya hanya menampilkan ITB dan di mobil yang menurutku tidak menjelaskan kenapa Lia tidak suka kepada kang Adi yang omong-omong pemerannya di film sesuai dengan imajinasiku ketika membaca. Keempat, adegan Dilan dan Anhar yang durasinya begitu lama, padahal di novel tidak ditampakkan adegan keras seperti itu. Ini malah memberi kesan negatif, seakan-akan cinta itu harus dibuktikan dengan perkelahian. Menurutku, daripada adegan dibuang untuk pertengkaran yang ga oke-oke banget lebih baik dialihkan pada bagian romantis Dilan-Milea, percakapan sederhana yang mengundang tawa misalnya. Kelima, rasaku ending film ini begitu biasa-biasa saja. Oke, memang di novel setelah perkelahian dengan Anhar, Dilan dan Lia ke Warung Bi Eem dan dilanjutkan dengan proklamasi. Akan tetapi, ending ini tidak menggigit sama sekali. Bahkan ada penonton yang berkata “Udah, segini aja ?”. Entah ekspektasiku yang begitu tinggi, atau bagaimana. Menurutmu ? Keenam, last but not least, judulnya. HAHA sepele sih, tapi yaudahlah ya. Novelnya berjudul Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990 sementara filmnya, Dilan 1990. Kepanjangan kali ya ? Tapi aku sudah terbiasa dengan novelnya, gimana dong ?

---

Maksa banget ga sih ???

Film nya memang dahsyat, lebih dari DUA JUTA TIKET TERJUAL dalam SEPEKAN. AADC, AAC, LEWAT ! Lalu bagaimana dengan Iqbaal ? Jika kau sudah membaca tulisanku tentang Iqbaal, kau pasti tau bahwa aku sudah meragukannya sedari awal, namun jujur saja ketika menonton trailernya (klik ini) (yang kuulang berkali-kali) aku optimis Iqbaal berhasil memerankan Dilan dengan baik, tepat, dan sesuai harapan banyak orang (Jika kau sungguh penggemar Dilan sedari awal pasti mengerti). Akan tetapi ketika aku duduk dengan manis, menonton dengan seksama, ekspektasiku setelah menonton trailer menjadi pupus. Terdapat beberapa catatanku untuk Iqbaal. Pada beberapa bagian, gombalan Dilan terasa hambar, dan di beberapa bagian terasa manis. Jika pada review trailer kuucapkan bahwa ia cocok memerankan bagian romantis, perkataan tersebut harus kucabut kembali di sini karena ternyata dia tidak sempurna memerankan bagian manis-manis yang menjadi daya tarik Dilan. Terlebih bagian ketika ia dinarasikan Milea sebagai Panglima Tempur. Sungguh-sungguh lucu. Maksa banget coy ! Begitu pula ketika ia bertengkar dengan Anhar (yang durasinya begitu lama). Iqbaal sebagai Dilan tidak bisa kukatakan gagal atau sangat buruk atau tidak cocok sama sekali. Lumayan, tapi tidak membuatku jatuh cinta, seperti Dilan yang membuatku tergila-gila.


---

Satu yang membuatku kagum, yaitu chemistry antara Iqbaal dan Vanesha. Meskipun terkesan seperti Kakak dan Adik, karena Vanesha memiliki wajah yang lebih dewasa (atau Iqbaal yang overcute ?), mereka memerankan dua remaja yang tengah dimabuk asmara dengan sangat baik ! Entah karena memang profesional dan menghayati peran masing-masing, atau karena ada rasa ketertarikan satu sama lain alias cinlok? Entahlah, aku tidak mau berspekulasi. Mereka berhasil menjadi sepasang kekasih yang saling jatuh cinta, dan aku harus akui itu.


Alloh ?

---

Aku yakin, akan ada yang bertanya mengapa aku memberi nilai 6/10. Baiklah, akan aku jelaskan. 6/10 adalah angka yang pantas menurutku. Bukan apa-apa, aku bukanlah haters Iqbal garis keras sehingga aku memberikan 6 untuk film yang bisa saja membuatmu baper setengah gila ini. Harus kukatakan bahwa aku sudah membaca Dilan sejak 2014, membeli Dilan 2 dan Milea sesegera mungkin setelah bukunya muncul di Gramedia, dan membacanya berulang kali serta mengajak banyak orang untuk ikut membaca. Untuk itu harus kukatakan sekali lagi, bahwa aku sangat mengenal Dilan, Milea, dan dunia mereka. Jadi sebagaimana yang sudah kusampaikan di atas, filmnya tidak jelek, cukup memberi gambaran novelnya, Iqbaal pun tidak bermain jelek, begitu pula Milea dan pemeran lain. Tapi rasanya hambar saja. Tidak lagi menggebu, tidak begitu mengena di hati. Kalau kau katakan hal ini terjadi karena aku tidak lagi terbiasa dengan hal romantis, kau salah besar. Setiap membaca Dilan, aku masih suka tersenyum sendiri, begitu halnya ketika aku membaca semua karya Ilana Tan (meski yang tersedian di kos cuma Spring in London). Oleh karena itu, salah besar jika aku tidak baper karna hatiku beku. Aku tidak baper, karena ya memang tidak ada alasan untuk baper (meski tak kupungkiri di beberapa bagian aku tersenyum sendiri), jadi ya begitulah.

Aku tidak mengerti sinematografi, tidak tau tata cahaya, tata rias, dan segala hal teknis lainnya. Yang kutahu hanyalah Dilan, sejak hampir empat tahun lalu. Untuk itu 6/10 sudah cukup untuk film Dilan 1990.



<3 Anne.




PS : feel free to share your opinion !
PSS: Silahkan baca/tonton review lain sebagai pembanding ya ! 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Train to Busan (2016) Review & Sinopsis (+Spoiler) : i see human, but not humanity.

Sore tadi, aku menonton film yang sebenarnya sudah cukup lama ingin ku tonton. Bukan genre favorit sesungguhnya, namun cukup menarik minatku. Kebetulan teman se kosku, Elva ingin menonton film ini, tapi dia takut sendirian. Baiklah, cukup basa-basinya. Selamat membaca :) for more pictures search on google ;) Train to Busan adalah film asal negeri ginseng, Korea Selatan yang berhasil mengagetkan industri perfilman internasional. Tidak hanya sukses di negara terdekat saja, Train to Busan menggemparkan ranah film barat yang memang sudah sering mengangkat cerita serupa : ZOMBIE. Sebagaimana yang sudah kusampaikan di awal, film yang menampilkan zombie tidak pernah masuk dalam daftar tontonan favoritku. Aku sangat jijik melihat zombie yang berdarah-darah, memakan manusia dengan rakus dan penampilannya yang membuatku ingin muntah. Tidak banyak film serupa yang pernah kutonton, Price Prejudice and Zombies, Warm Bodies dan satu film lagi yang dibintangi oleh Tom Cruise yang

Dikejar Monyet

Aku akan berkisah tentang pengalaman yang sangat luar biasa Yang kualami sendiri Hari ini, aku ada rapat di sekre BEM Universitas Riau. Persiapan acara nasional di bulan Maret nanti Dan kebetulan aku adalah CO Acara Seperti biasa, aku berjalan kaki dari kos Melewati jalanan kampus yang sepi Seharusnya aku sudah memposting sebuah tulisan yang kubuat hari Kamis lalu, tapi aku lupa Tentang monyet Namun tenang saja, ketika aku menulis kisah ini postingan itu sudah bisa kau baca Mungkin ini adalah teguran dari Allah Aku begitu sombong Kau boleh membacanya di sini Hari ini aku diberi sebuah pengalaman yang sangat luar biasa Entahlah bagaimana caranya menceritakan Tapi kau harus baca jika ingin tau Kembali lagi ke cerita hari ini Jika kau sudah membaca postinganku sebelumnya kau pasti sudah tau bahwa ada sebuah jalan yang harus dilewati jika ingin ke sekre, dan orang-orang yang lewat di jalanan tersebut sering melihat monyet, bahkan dikejar. Nah, sebagaimana yang kutul

Puisi Pendek Kala Hujan (6)

Sebagai gadis yang jatuh cinta kepada rintik Jelas tak ada alasan bagiku untuk berteduh di kala hujan Namun jika itu adalah dalam pelukmu Aku rela terus disana Meski harus tenggelam bersama luka Bersama hujan pagi dan dingin di kamar kos yang sepi Anne