Ketika diberi tugas untuk melakukan perjalanan dinas ke Situbondo, aku senang bercampur haru. Tujuan utamanya memang Situbondo, tetapi yang membuatku begitu bersemangat adalah Surabaya. Sudah lama aku ingin ke ibu kota provinsi paling timur di Pulau Jawa ini.
Ada dua alasan yang membuatku begitu ingin ke Surabaya. Pertama tentu karena alasan historisnya, patung Sura dan Baya, Tragedi 10 November, juga Bung Tomo. Kedua aku ingin mengunjungi tempat Mei berada, melakukan napak tilas sebagaimana yang dilakukan oleh Borno dan Pak Tua (maaf ini #buatyangpahamaja heuheu). Kuatur perjalanan sedemikian rupa agar bisa aku mengunjungi kota yang dikenal sebagai Kota Pahlawan ini, agak panjang dan penuh drama (nanti kuceritakan), tetapi akhirnya bisa terwujud. Inilah perjalananku, tujuh jam singkat di Surabaya, sebuah upayaku untuk senantiasa mencintai Indonesia.
1. Mengunjungi Kawasan Ampel: Masjid Agung dan Makam Sunan Ampel
Alasanku sesungguhnya ke sini adalah karena Pak Tua dan Borno yang minta ditemani Mei ke pasar ampel untuk membeli karpet turki. Aku tidak membeli karpet, repot dan juga untuk apa? Akan tetapi aku menelusuri kawasan wisata religi tersebut.
Sepanjang jalan menuju ke masjid pun juga begitu ramai penjual kiri kanan, dari panganan lokal seperti es dawet hingga kurma, coklat arab (benar ini namanya bukan?), serta makanan khas timur tengah lainnya. Gamis, sarung, mukena, jilbab, aneka busana juga tersedia. Ramai peziarah yang mendatangi makam Sunan Ampel dan solat di Masjid Agung, memenuhi jalanan. Rasanya cukup jauh, mungkin hampir satu kilometer jaraknya dari pintu gang hingga sampai ke masjid. Kemudian perlu berjalan lagi hingga sampai ke makam Sunan Ampel. Apa yang kulakukan? hanya melihat saja, tidak mengambil foto karena takut dan tidak berani. Pertama karena ramai, kedua rasanya kurang enak melakukan pengambilan gambar di makam.
Termaafkan karena ya sudahlah. |
Pak Tua dan Borno juga membawaku kepada soto lamongan yang sejujurnya begitu datar rasanya, tetapi tetap bisa kumaafkan karena sedang lapar. Setelah makan aku akhirnya memesan Gojek menuju lokasi berikutnya yang ingin kudatangi.
2. Tempat kesukaanku: Tugu Pahlawan
Magis. |
Tentu saja ini telah menjadi daftar kunjungku sejak lama. Bukan hanya karena aku suka sejarah dan mengagumi arek-arek Suroboyo saja, melainkan juga karena dari beberapa foto yang kulihat di internet, Tugu Pahlawan menjanjikan langit biru yang begitu indah (HEHEHE). Benar saja! Semesta mendukung, begitu cerah, begitu indah, langit biruku bersanding dengan patung Soekarno-Hatta. Suasana yang mungkin sebenarnya hari-hari biasa bagi warga Surabaya, tetapi buatku memberi kesan magis.
Aku melakukan beberapa aktivitas di sana, lebih banyaknya tentu mengambil foto langit, membaca, mengagumi langit, membaca lagi, berjalan membayangkan perjuangan pahlawan-pahlawan masa lalu, yang berjuang, yang bersedia mengorbankan jiwa raga (dalam arti sesungguhnya), yang namanya bahkan tidak kita kenal. Aku lebih memahami bagaimana arek-arek Suroboyo memperjuangkan Indonesia saat melawan pasukan sekutu, mencoba mereka ulang, seakan film hitam putih terputar di kepalaku.
Sayangnya, Museum Tugu Pahlawan tidak dibuka. Entah karena pandemi atau memang sedang tidak beroperasi, jadinya hanya sedikit yang bisa kuserap. Akan tetapi dengan kunjungan ke Tugu Pahlawan ini, aku jadi lebih memahami Surabaya, tentang kota yang sejak masa Majapahit telah gemilang, pada masa perjuangan menyumbangkan tokoh-tokoh cemerlang (HOS Cokroaminoto favoritku!) hingga pada hari ini, menjadi kota besar yang ramai dan terus maju berkembang.
3. Berhenti sebentar di Museum Kapal Selam: Melihat Patung Sura dan Baya.
Sejak awal, yang menjadi targetku sebenarnya adalah melihat Patung Sura dan Baya. Bila nanti tak punya banyak waktu untuk berkeliling (sebagaimana perjalanan dinas biasanya), minimal aku harus melihat patung Sura dan Baya, untuk sekali saja. Kenapa? Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin melihat karna ini adalah ikon dari kota Surabaya.
Ketika kucari tahu di internet, ternyata ada tiga patung dengan lokasi berbeda. Akhirnya setelah menghitung jarak dan rute, kuputuskan untuk melihat patung Sura dan Baya yang berlokasi di pinggir sungai, dalam satu kawasan dengan Museum Kapal Selam. Namun yang terjadi ketika aku sampai di sana adalah aku tidak jadi masuk, alasannya sungguh sederhana: aku tidak punya uang tunai dan tidak ada ATM terdekat, sedangkan untuk masuk hanya bisa menggunakan uang tunai. Untungnya sebelum sampai di sana aku sudah melewati patung Sura dan Baya, aku harus puas melihat dari jauh dan aku tidak menyesal. Kalau kupikir-pikir untuk apa juga aku melihat patung saja? Melihat museum kapal selam tidak menarik minatku (suamiku mungkin iya!). Akhirnya ya sudah aku menuju lokasi berikutnya.
4. Alun-Alun Surabaya: Nyaman di Sore Hari Menjelang Senja
Berikutnya aku ke alun-alun. Rasanya kalau mengunjungi kota di Jawa, kurang lengkap bila tidak ke alun-alun, begitu pula Surabaya. Alun-alun ini unik, terdapat ruang bawah tanah yang bisa kita kunjungi secara gratis. Saat aku berkunjung, di ruang bawah tanah ini sedang ada pameran seni lukisan, juga beberapa barang antik peninggalan Belanda. Akupun mengetahui bahwa alun-alun ini dulunya merupakan tempat para sosialita Belanda minum teh dan gosip-gosip manja. Di kawasan luar ada ruang terbuka yang ramai anak-anak, juga sepertinya sedang ada kompetisi melukis (?), ada banyak seniman yang sedang lesehan, fokus melukis gedung alun-alun, rasanya tidak mungkin iseng secara bersamaan xixi.
Di alun-alun juga tersedia food court atau sebenarnya kita sudah punya padanan bahasa Indonesianya sedari dulu kala alias pujasera. Enak juga duduk sore-sore sambil menunggu mentari pulang. Udara sejuk, langit hampir merah, padanan yang meriah. Ketika azan magrib tiba, jangan sedih ada masjid di alun-alun Surabaya, jadi tetap bisa menjadi anak senja yang taat agama heuheu. Menurutku alun-alun Surabaya salah satu alun-alun terbaik, tidak terlalu besar (sehingga bisa dijelajahi semua), tetapi cukup dengan fasilitasnya yang lengkap pula!
5. Perpustakaan Kota di Alun-Alun Surabaya: Surga!
Apa lagi yang bisa membuatku bisa tersenyum berbahagia seakan tanpa dosa selain langit biru? Betul, perpustakaan. Ketika bingung menentukan mau ke mana berikutnya, aku menemukan tulisan "Perpustakaan", kuberanikan diri untuk masuk dan bertanya apakah masih dibuka, ternyata masih! Jadilah aku habiskan selepas magrib sampai perpustakaannya ditutup (pukul 8) di sana. Apa yang kulakukan? Melihat-lihat, membaca, dan menulis (lebih banyak menulisnya!). Rasanya perpustakaan ini memberi ruang bagiku yang beberapa hari begitu lelah, memberi ketenangan.
Salut sekali! Harusnya lebih banyak perpustakaan yang lokasinya di tengah keramaian seperti ini, yang membuat orang-orang ingin ke sana tanpa kesulitan, tanpa drama. Apresiasi setinggi-tingginya kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk perpustakaan hangat dan rapi di alun-alun ini!
6. Jalan kaki ke Tunjungan Plaza
Sungguh sebuah keisengan. Ketika perpustakaan tutup, masih ada jeda sekitar dua jam sebelum keretaku berangkat. Malas menunggu lama di stasiun, akhirnya kuputuskan ke pusat perbelanjaan kebanggaan Surabaya ini. Hanya 700 meter, jadilah aku jalan kaki. Melewati jalanan yang ramai, trotoar yang sepi dan agak gelap (bintang 1, deh!), kemudian menyeberang dengan jembatan penyeberangan jalan.
Sebuah komitmen nyata di Surabaya. |
Sesampainya di Tunjungan Plaza (jangan tanya TP berapa) aku hanya melihat-lihat, itupun hanya sanggup dua lantai. Tidak selera dan sebenarnya belanja juga bukan keahlianku. Akhirnya aku ke Tong Tji Cafe memesan teh melati alias APAASIIHHH??? Ketika jam menunjukkan 45 menit sebelum keberangkatanku, aku pun keluar, memesan gojek menuju stasiun.
7. Stasiun Pasar Turi: Selamat tinggal Surabaya!
Aku tidak menyangka stasiun ramai sekali. Penuh dan padat. Aku mengantre di bagian keberangkatan, berusaha keras tidak terhuyung, perlahan aku menaiki kereta, mencari tempat dudukku, dan bersiap tidur. Besok pagi aku akan tiba di bagian barat pulau Jawa, kembali pada hari-hari biasa, dan Surabaya akan menjadi kota penuh sejarah yang memberikan kesan mendalam.
Komentar
Posting Komentar