Langsung ke konten utama

Duta Bahasa: tentang mimpi dan mengalahkan diri sendiri.

 

Sejujurnya bingung memulai dari mana. Ini akan jadi cerita yang paling sulit untuk dijabarkan. Betapa hatiku dipenuhi gelembung haru, sendu, bahagia, dan suka cita dijadikan satu. Ini adalah cerita yang sudah lama ingin aku tuliskan. Cerita yang sudah lama aku damba untuk diwujudkan. Cerita yang bahkan sampai saat merangkai kata ini masih sulit kupercaya sudah terjadi. Ini adalah cerita tentang mimpi yang jadi kenyataan.

Bismillah...

---

Membaca dan menulis adalah juara hatiku.

Bila ditanya apa hal yang paling kusukai di dunia ini, maka jawaban pertama yang muncul di kepalaku adalah membaca. Sedari bisa mengeja saat Taman Kanak-kanak (TK), aku sudah jatuh cinta pada kata-kata. Jatuh cinta pada hal baru yang kutemukan saat membaca, jatuh cinta pada setiap keajaiban yang hadir ketika aku mulai memahami bahwa sebuah kata bisa begitu bermakna. Aku ingat sekali proses mengenalnya: latihan mengeja bersama Mama, a-i-u-e-o, ba-bi-bu-be-bo, dan seterusnya. Ah akan panjang sekali bila kuceritakan betapa aku mencintai dunia baca. Cukup kali ini, lain kali akan secara khusus kuuraikan.

Aku tidak tahu apakah ini bakat, naluriah, atau memang setiap orang yang suka membaca pasti juga suka menulis. Ini hanya dugaanku, tetapi sepertinya kebanyakan memang begitu ya? Buatku terasa sekali. Kecintaan pada membaca mengantarku pada keinginan untuk menulis. Curhat pada buku harian adalah kesukaanku, diselingi puisi tentang alam, lingkungan, orang-orang terdekat.

Menjadikan membaca dan menulis sebagai hobi nomor satu, tentulah bisa ditebak aku begitu menyukai pelajaran Bahasa Indonesia sedari SD. Aku ingat sekali ketika kelas I, nilai Dikteku tidak pernah di bawah angka sembilan. Mengarang selalu jadi kegemaran. Begitu banyak buku yang kupinjam di perpustakaan. Piagam pertamaku bahkan adalah Juara 1 Olimpiade Bahasa Indonesia. Sembilan tahun usiaku waktu itu. Sudah barang tentu nilai UN Bahasa Indonesiaku di atas angka sembilan. HEHEHEHE ADUH KELEPASAN PAMER.

Bukan OSN yaa tapi hhe

Ketika SMP, membaca dan menulis tetap juara hatiku. Selain rutin menulis buku harian dan novel yang tidak lepas di tangan, aku juga mulai menulis di blog (tahun 2011, hampir satu dekade!). Aku pun menekuni puisi: menulis juga membacakannya. Aku mulai mengenal Chairil Anwar secara utuh, juga mencoba memaknai kata-kata indah milik Sapardi Djoko Damono. Masa SMP adalah masa-masa pencarian jati diri. Begitu pula dengan bacaan dan tulisanku. Aku mulai memilah dan memilih yang kusukai dan tidak kusukai.

Ketika SMA, semakin menjadi-jadi kegilaanku pada baca tulis. Aku memutuskan untuk mengambil jurusan Sastra Indonesia saat kuliah nanti. Saat penjurusan menuju kelas XI pun, aku memilih jurusan Bahasa (meski akhirnya masuk IPA karna Bahasa kurang peminat). Aku ingin menjadi penulis novel terkenal (atau minimal menjadi editor). Aku ingin karyaku berjejer di Gramedia se-Indonesia Raya. Keinginan untuk kuliah di jurusan Sastra Indonesia inilah yang membuatku gigih mengikuti berbagai perlombaan. Aku ingin lulus SNMPTN, berbekal nilai rapor dan lampiran sertifikat penghargaan. Jurusanku IPA, dan aku tidak berniat untuk lintas jurusan saat SBPMTN (males belajarnya wkwk). Jadilah SNMPTN harapanku satu-satunya.

Lomba-lomba inilah yang mengenalkanku dengan Kantor Bahasa Jambi. Baiklah, aku sudah mengenal Kantor Bahasa Jambi sedari SMP. Kantor Bahasa Jambi terletak di Jalan A.R. Hakim, begitu pula SMP dan SMA-ku. Persis di depan SMA-ku lah Kantor Bahasa Jambi, dan SMP-ku berbatasan pagar dengan SMA-ku. Jadi sudah dapat dipastikan SMP dan SMA-ku selalu dilibatkan oleh berbagai kegiatan yang diadakan oleh Kantor Bahasa Jambi. Mulai dari sekadar meramaikan hingga mengikuti aneka lomba. Dan aku adalah salah satu siswa yang kerap menjadi perwakilan sekolah dalam berbagai kegiatan ini.

Mahasiswa Sastra Indonesia yang juga Duta Bahasa. Sempurna sekali khayalku.

Aku baru menyadari ajang pemilihan Duta Bahasa ketika SMA. Mungkin ketika SMP aku tidak menaruh perhatian akan hal-hal seperti ini (yah ketika SMA sebenarnya juga tidak). Aku lupa persisnya kapan, yang pasti adalah ketika mengikuti lomba (lomba apa ya?). Waktu itu ada baliho berukuran besar di depan Kantor Bahasa Jambi, isinya tentang informasi Pemilihan Duta Bahasa Jambi (sepertinya tahun 2013?). Waktu itu langsung terpikir olehku untuk mengikuti Pemilihan Duta Bahasa ketika sudah di perguruan tinggi nanti. Mahasiswa Sastra Indonesia yang juga menjadi Duta Bahasa. Sempurna sekali khayalku. Namun bukan hanya sebatas imaji, aku mengupayakan yang terbaik. Mengikuti berbagai lomba berkaitan bahasa dan sastra, lomba menulis puisi-cerpen-esai, lomba debat, cerdas cermat (lho?), dan apa lagi ya? Yah intinya aku benar-benar berusaha keras, memastikan bahwa aku lulus SNMPTN di program studi dan universitas impianku.

Namun ternyata lain kata takdir. Aku gagal pada SNMPTN, dan tidak ada rencana untuk lintas jurusan saat SBMPTN. Suratan membawaku ke Universitas Riau, bukan jurusan Sastra Indonesia, jauh sekali. Hal inilah yang membuatku jarang membaca dan mulai berhenti menulis (sungguh!). Yah masih menulis, laporan praktikum maksudku hehehe. Buku harian? Menulis di blog? Tidak lagi pernah. Aku tidak membawa banyak novel dari Jambi, hanya dua Sang Alkemis-Paulo Coelho dan Sherlock Holmes-Sir Arthur Conan Doyle.

---

Aku gagal saat Pemilihan Duta Bahasa Riau 2016, yang kemudian menyisakan trauma bagiku.

Membaca kembali Sang Alkemis mengingatkanku tentang mimpi menjadi Duta Bahasa (Nanti akan kubahas betapa Sang Alkemis bermakna bagiku). Tidak mengapa bila gagal menjadi mahasiswa Sastra Indonesia, aku masih punya kesempatan menjadi Duta Bahasa. Berbekal tekad inilah aku mengikuti Pemilihan Duta Bahasa Riau 2016, semester dua aku waktu itu.

Harus kuakui, saat itu aku tidak memiliki gambaran apapun tentang Pemilihan Duta Bahasa. Tidak ada senior untuk kutanya, tidak ada relasi yang bisa menasehati. Aku datang hanya bermodal percaya diri. Aku masih ingat pakaianku saat tes UKBI: terusan biru dongker dengan pasmina melilit di kepala. Aku duduk paling depan, merasa yakin dengan jawabanku (hahahaha pede banget!). Saat wawancara, akhirnya aku menyadari satu hal, bahwa menjadi Duta Bahasa bukan hanya perkara suka membaca, pandai menulis. Jauh lebih besar dari pada itu semua. Wawancaraku kacau sekali. Aku masih ingat pertanyaannya, semua. Aku juga masih ingat ekspresi dari juri saat itu. Skeptis. Lucu bila diingat. Aku percaya diri dengan jawaban yang lebih banyak mengarangnya.

Ayo temukan aku!

Meski sadar bahwa penampilanku tidak maksimal, aku masih berharap untuk lolos pada tahap selanjutnya. Sangat naif memang, tetapi begitulah adanya. Maka wajar saja ketika 20 pasang finalis diumumkan, aku merasa kecewa dan teramat sedih. Aku gagal dan trauma. Sejak saat itu aku menjadi pengamat setia akun instagram @dutabahasariau. Menjadi pengagum orang-orang yang berada di sana, bersama gelar dan samir yang tersandang.

---

Ternyata mimpi itu masih ada, tersimpan rapi di sudut hatiku.

2017 aku masih begitu takut. Persiapanku belum matang. Aku khawatir kembali gagal. Takut kecewa lagi dan menyakiti diri sendiri.

2018, kulihat kembali mimpi itu. Masih ada rupanya keinginan untuk ikut serta. Namun waktunya tidak tepat. Bertabrakan dengan jadwal Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Pilmapres) 2018. Aku tidak yakin akan maksimal bila mengikuti keduanya. Kupilih Pilmapres, karena saat itu aku semester 6, tahun terakhir untuk dapat ikut serta pada kompetisi ini.

2019, terbersit keinginan untuk mendaftar. Seingatku waktu itu harus melampirkan sertifikat UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia). Akupun sudah berniat untuk ikut serta. Namun saat itu aku baru mendapatkan pekerjaan (baca di bit.ly/CeritAnneUNDP) dan masih menjabat sebagai Duta Lingkungan Pekanbaru (aku tipikal yang first things first, ingat?), aku membatalkan untuk ikut serta. Aku ingat sekali saat malam puncak Pildubas 2019 aku tengah di Bogor, kegiatan bersama Kementerian PUPR. “Kalau tahun depan masih di Pekanbaru, coba ya. Terakhir kali. begitu kubilang waktu itu.

Januari 2020 aku lulus ujian sarjana. Februari 2020 informasi Pemilihan Duta Bahasa 2020 mulai disiarkan di @dutabahasariau. Aku mulai menimbang. Berpikir ulang. Mereka adegan. Bicara pada diri sendiri. Banyak tanya dan raguku, lebih banyak lagi rasa takutku.

Sungguhkah aku ingin ikut serta? Apa yang ingin kucari? Betulkah ini mimpi atau hanya sekedar ajang pembuktian diri? Bagaimana niatku? Luruskah?

Takut sekali aku dikira mencari panggung atau “gila selempang”. Takut sekali akan anggapan orang-orang yang tidak mengenalku dengan baik. Takut gagal lagi (jelas). Takut mengecewakan diri sendiri. Takut bila nanti aku tidak mampu berbesar hati. Lebih takut lagi bila tidak bisa menjalankan amanah yang diberikan kepadaku dengan baik. Takut tidak sanggup akan ekspektasi orang-orang kepadaku. Takut manajemen waktuku kacau. Takut rencana masa depanku berantakan. Takut dan kalut sungguh berkawan baik, memenuhi hati dan pikiranku.

Namun ketika kutanya pada hatiku, ternyata aku memang ingin menjadi Duta Bahasa. Ketika kulihat lagi, ternyata mimpi itu masih ada. Tersimpan rapi. Kuputuskan untuk ikut serta. Aku harus mencoba. Sudah banyak hal yang kusesali selama hidup ini. Tak ingin lagi kutambah dengan “Andai aku ikut Duta Bahasa dulu.” saat melihat unggahan tentang Duta Bahasa di media sosial. Aku tidak ingin seperti penjual kristal di novel Sang Alkemis. Aku ingin mewujudkan mimpi.

---

Dalam proses ini, aku hanya ingin menikmati dan memberikan kesan terbaik untuk diriku sendiri.

Meski sudah memutuskan untuk ikut serta, hatiku masih diliputi keraguan. Butuh kekuatan untuk meyakinkan diri sendiri. Aku akhirnya mengirimkan berkas pada hari terakhir. Pun setelah pendaftaran diperpanjang. Menunggu pengumuman seleksi administrasi dengan tidak sabar. Jangan-jangan aku gagal pada seleksi pertama? Untungnya aku lolos dan melaju pada tahap berikutnya, wawancara dan penampilan bakat. Awalnya seleksi berikutnya dilaksanakan tidak berselang jauh dari pengumuman seleksi administrasi, tetapi karena pandemi covid-19 mesti diundur hingga berbulan kemudian.


Selepas Kota Pekanbaru menerapkan Perilaku Hidup Baru (PHB), rangkaian pemilihan Duta Bahasa Riau kembali dilanjutkan. 25-27 Juni wawancara, 29-30 Juni penampilan bakat. Karena namaku diawali huruf A, aku termasuk hari pertama untuk wawancara dan menampilkan bakat (tetapi karena bekerja, aku menampilkan bakat pada hari kedua). Saat wawancara, aku menjawab pertanyaan tentang kebahasaan dengan cukup baik. Aku puas akan jawabanku sendiri. Berbeda saat pertanyaan kebudayaan, aku hanya bisa tersenyum. Malu pada diri sendiri, terasa sekali bodohnya! Sedangkan saat pertanyaan bahasa asing, tidak bisa dibanggakan sebenarnya tetapi juga tidak kacau balau. Yaah lumayanlah.

Senang tak terkira!


Aku masuk 20 besar! Hal yang begitu aku inginkan empat tahun lalu. Bersyukur dan mulai mengatur strategi untuk menang. Aku begitu deg-degan. Ini bukan kompetisi pertama, tetapi adalah kompetisi yang aku damba sedari SMA. Aku mengikuti semua rangkaian kegiatan dengan hati yang lapang. Pembekalan, Psikotes, UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia), Presentasi Rencana Krida. Aku melakukan semua ini dengan maksimal dan sebaik mungkin. Harus kusampaikan, betapa aku menikmati seluruh proses ini. Aku bersenang-senang, aku belajar banyak hal. Entah karena pendewasaan, rasanya jiwa “ambis”
-ku tidak begitu menggelora. Hanya pada saat kegiatan Mancakridalah jiwa-jiwa ingin selalu menang saat kompetisi (yang dulu selalu aku rasakan) muncul. Boleh jadi karena sudah begitu lama aku tidak melakukan aktivitas luar ruangan.

Sungguh menyenangkan!

Aku juga tidak lagi “memetakan lawan”. Bila kau mengenalku sedari dulu, kau pasti tau salah satu kebiasaanku saat mengikuti kompetisi (apapun itu) adalah memetakan lawan. Aku melihat dan menilai sainganku. Mana yang layak dijadikan saingan, mana yang harus diwaspadai, mana yang tidak perlu dipikirkan. Bukan untuk menjatuhkan lawan, melainkan untuk fokus membenahi diri sendiri: pada kekurangan dan kelebihan yang kumiliki dan memaksimalkan potensi. Entah karena sudah dewasa (cieilah), atau karena aku menganggap peserta lain sebagai adik, atau karena yaa aku hanya ingin menikmati saja, ingin memberikan kesan terbaik untuk diriku sendiri.
Tidak ada penyesalan. Aku telah memberikan dan melakukan yang terbaik sebisaku.

Aku ingin menjadi pemenang. Separuh hatiku ingin menjadi pemenang satu, separuh lainnya tidak ingin menjadi pemenang satu (kapan-kapan kuceritakan ya). Namun aku menyadari bahwa penting sekali bagiku untuk menata hati dan ekspektasi. Sejak awal, sudah kuucapkan pada diriku bahwa aku harus siap bila nanti aku tidak menang. Harus siap bila tidak menjadi pemenang 1,2, 3, 5 besar, dan 10 besar. Aku menyiapkan diriku untuk kalah, sama halnya dengan kesiapanku untuk menang. Aku bisa jamin, entah menang atau kalah, tiga buah unggahan tentang Duta Bahasa akan muncul di instagramku, lengkap dengan takarir panjang.

Yang paling sulit bagiku adalah menghadapi ekspektasi orang lain. Aku sadar sekali banyak yang mengekspektasikan diriku menjadi pemenang. Tidak sedikit ucapan langsung disampaikan padaku. Aku takut bila realita tak sesuai ekspektasi, maka akan memengaruhi pandangan orang lain kepadaku. Lebih takut lagi bila orang-orang menaruh iba padaku (padahal aku sudah berupaya keras untuk tidak jatuh dan merasa gagal).

Sepuluh besar Duta Bahasa Riau 2020.

Saat namaku dipanggil untuk masuk sepuluh besar, betapa bahagia aku. Begitu pula ketika menjawab pertanyaan. Jawaban orisinal, sungguh diriku. Ketika kemudian aku dinyatakan masuk lima besar, hampir menangis aku. Sedikit lagi, sedikit lagi menuju mimpi yang bertahun-tahun aku simpan. Menjawab pertanyaan dewan juri tanpa kesulitan. Terlepas penilaian dari orang lain, dariku itulah jawaban terbaik.

Lima besar Duta Bahasa Riau 2020.

Selepas sesi tanya jawab lima besar, mengacu pada jawaban lain, kuakui aku merasa memiliki peluang untuk menjadi tiga besar. Akan tetapi lagi kucoba menata hati dan ekspektasi. Aku harus siap untuk tidak lagi dipanggil, sama siapnya untuk dinobatkan menjadi pemenang.

Ketika pengumuman, hatiku masih saja separuh ingin menjadi pemenang satu, separuhnya lagi berdoa untuk tidak menjadi pemenang satu. Akhirnya namaku disebut, sebagai pemenang tiga. Lega. Sungguh lega. Lega karena mengetahui takdirku tidak menjadi pemenang satu, lega karena mimpiku tuntas, lega karena  aku menang: berhasil mengalahkan diriku.

Alhamdulilllah.

Terlepas dari apapun ekspektasi orang lain. Terlepas dari bagaimanapun dewan juri menilai. Aku bangga pada diriku. Bangga pada prosesku. Bangga pada perjuanganku. Tidak ada penyesalan. Aku sudah memberikan dan melakukan yang terbaik sebisaku.

---

bersambung....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Train to Busan (2016) Review & Sinopsis (+Spoiler) : i see human, but not humanity.

Sore tadi, aku menonton film yang sebenarnya sudah cukup lama ingin ku tonton. Bukan genre favorit sesungguhnya, namun cukup menarik minatku. Kebetulan teman se kosku, Elva ingin menonton film ini, tapi dia takut sendirian. Baiklah, cukup basa-basinya. Selamat membaca :) for more pictures search on google ;) Train to Busan adalah film asal negeri ginseng, Korea Selatan yang berhasil mengagetkan industri perfilman internasional. Tidak hanya sukses di negara terdekat saja, Train to Busan menggemparkan ranah film barat yang memang sudah sering mengangkat cerita serupa : ZOMBIE. Sebagaimana yang sudah kusampaikan di awal, film yang menampilkan zombie tidak pernah masuk dalam daftar tontonan favoritku. Aku sangat jijik melihat zombie yang berdarah-darah, memakan manusia dengan rakus dan penampilannya yang membuatku ingin muntah. Tidak banyak film serupa yang pernah kutonton, Price Prejudice and Zombies, Warm Bodies dan satu film lagi yang dibintangi oleh Tom Cruise yang

Dikejar Monyet

Aku akan berkisah tentang pengalaman yang sangat luar biasa Yang kualami sendiri Hari ini, aku ada rapat di sekre BEM Universitas Riau. Persiapan acara nasional di bulan Maret nanti Dan kebetulan aku adalah CO Acara Seperti biasa, aku berjalan kaki dari kos Melewati jalanan kampus yang sepi Seharusnya aku sudah memposting sebuah tulisan yang kubuat hari Kamis lalu, tapi aku lupa Tentang monyet Namun tenang saja, ketika aku menulis kisah ini postingan itu sudah bisa kau baca Mungkin ini adalah teguran dari Allah Aku begitu sombong Kau boleh membacanya di sini Hari ini aku diberi sebuah pengalaman yang sangat luar biasa Entahlah bagaimana caranya menceritakan Tapi kau harus baca jika ingin tau Kembali lagi ke cerita hari ini Jika kau sudah membaca postinganku sebelumnya kau pasti sudah tau bahwa ada sebuah jalan yang harus dilewati jika ingin ke sekre, dan orang-orang yang lewat di jalanan tersebut sering melihat monyet, bahkan dikejar. Nah, sebagaimana yang kutul

Puisi Pendek Kala Hujan (6)

Sebagai gadis yang jatuh cinta kepada rintik Jelas tak ada alasan bagiku untuk berteduh di kala hujan Namun jika itu adalah dalam pelukmu Aku rela terus disana Meski harus tenggelam bersama luka Bersama hujan pagi dan dingin di kamar kos yang sepi Anne