Langsung ke konten utama

Rapijali: Trilogi Paling Sempurna Yang Pernah Kubaca.

Dari sekian banyak cerita bersambung atau yang dibuat menjadi seri buku, Rapijali adalah trilogi paling sempurna yang pernah kubaca. Ada banyak yang kurasakan, beberapa akan aku tuliskan di sini. Sila lanjutkan membaca.

Awalnya, yang membuatku tertarik membaca adalah Ibu Suri, Dewi Lestari menyampaikan bahwa untuk merampungkan Rapijali membutuhkan 27 tahun lamanya. Naskah ini dibuat ketika ia remaja, untuk kemudian terkubur, digantikan oleh karya-karya luar biasanya yang lain. Aku penasaran, kenapa membutuhkan waktu begitu lama? Apakah begitu kompleks ceritanya? Mungkin juga Rapijali memberi harapan kepadaku, bahwa selama apapun naskah itu terdiam, suatu hari bisa menjadi karya besar bila diberi kesempatan. Mungkin ini juga mengingatkanku pada mimpi untuk menjadi penulis novel terkenal. Oke oke kenapa malah jadi curhat? Ayo kembali fokus.

Kemudian ketika aku mulai membaca, buku pertama, buku kedua, buku ketiga, SUMPAH RASANYA SUDAH LAMAAA SEKALI AKU TIDAK CANDU SEPERTI INI. Ya maksudku aku selalu candu ketika membaca, sulit lepas ketika buku mulai dibuka, tetapi Rapijali sungguh berbeda. Aku masuk ke dalam dunianya, sampai akhirnya juga sibuk memikirkan bagaimana nasibnya, ikut sedih dan gulana. Dahsyat memang Ibu Suri dan Rapijali. Kalau kata anak zaman sekarang, sih worth it banget nunggu 27 tahun!

Untuk yang belum baca, mari kuceritakan resume singkatnya.

Rapijali adalah kisah remaja SMA. Tokoh utamanya Ping, gadis yang hidup dengan kakeknya yang tiba-tiba meninggal dan akhirnya membawa Ping pada kehidupan yang tidak pernah terbayangkan. Tentang sekolah mahal, drama ibu kota, juga mimpinya: sekolah musik dan menjalani mimpinya. Buku pertama Rapijali: Mencari, sesederhana Ping yang beradaptasi dengan kehidupan baru, dengan teman-teman baru. Dramanya pun juga selayaknya anak SMA pada umumnya. Buku kedua, Rapijali: Menjadi, tentang Ping yang mulai menemukan rumah baru, sahabat baru, dan perjuangannya meraih mimpi. Kalau buku pertama berputar pada Ping, buku kedua mulai merambat pada teman-temannya. Tokoh yang awalnya kukira hanya pendukung ternyata mengambil porsi yang cukup besar, sampai akhirnya mulai terlihat, sesuai judulnya, kisah ini memang tentang Rapijali. Buku ketiga, Rapijali: Kembali, masalahnya lebih kompleks, alurnya pun bolak-balik, karakternya pun tumbuh menjadi dewasa dengan masalahnya masing-masing. Membawa jalinan cerita indah penuh makna. Favoritku tentu saja buku ketiga (aku selalu suka buku terakhir wkwk). Cukup ini saja, aku takut semakin panjang, semakin banyak yang kuceritakan, ujung-ujungnya malah kuceritakan satu buku xixixi.

Trilogi ini paling sempurna menurutku setidaknya karena alasan berikut:

Pertama, ini adalah novel remaja yang alami. Konfliknya tidak dipaksa, tidak mengada-ngada. Jadinya semua begitu pas dan sangat wajar. Maksudku, kita sering kan membaca novel remaja yang konfliknya di luar nalar? Nah, Rapijali ini tidak begitu. Semua pas, bahkan mengembalikan kenangan pada masa SMA. Akan tetapi, meski konfliknya begitu natural, Ibu Suri sungguh cerdik (seperti biasa) saat mengemasnya. Jadilah aku ikut hanyut, ikut simpati, ikut kesal, ikut geregetan. Bahkan ketika masuk ke konflik dewasa awal (jiakh) masih terasa natural. Konflik yang mengalir, teknik bercerita yang menghanyutkan, aduhai mana bisa keluar dari dunia fiksi ini?

Kedua, sudah lama aku tidak galau pada kisah percintaan tokoh utama, alias di sini adalah Ping. Untuk itu Rapijali memberi kesan mendalam buatku, yaa soalnya sudah lama tidak ikut pusing memikirkan kisah cinta tokoh utama. Soalnya biasanya kan kalau tidak berakhir bahagia, ya berakhir duka. Akan tetapi Rapijali berbeda. Asli, aku sungguh 3G: galau gundah gulana. Sebenarnya novelnya sudah lengkap, tetapi karena pekerjaan yang menumpuk dan malam yang begitu lelah, jadinya tidak bisa kutuntaskan sekali baca. Jadilah merasa linglung, sibuk memikirkan bagaimana nasib Ping, ke mana ia bermuara, takut sekali kapalku karam. Coba tebak, aku tim siapa?

Ketiga, book soundtrack nya tidak main-main. Bukan hanya perkara lagunya yang memang bagus dan penyanyinya juga papan atas (BCL, Maudy Ayunda, Iwal Fals, Mikha Angelo, Mawar Eva, dan Adikara) tetapi juga karena kita dilibatkan dalam proses pembuatan lagu. Mungkin karena Rapijali cerita anak band dan dipenuhi musisi, jadi yaa tidak main-main juga pelibatan musik dalam novelnya. Bukan hanya cerita, bukan hanya karangan belaka. Kalau biasanya book soundtrack itu versi lagunya si novel/cerita (seperti Rectoverso atau Albuknya Fiersa Besari), lagu-lagu di Rapijali mengajak kita untuk menyelami kenapa dan bagaimana lagu itu diciptakan. Beruntungnya aku cukup sabar untuk tidak mendengarkan duluan sebelum membaca, jadilah ketika masuk pada bagian lagu itu dibuat, lalu kudengarkan, jadinya begitu indah! Sungguh ajaib dan memberi haru di dada! Jadinya ketika mendengarkan lagunya teringat pada momen ketika lagu itu dibuat (xixi aku emang udah hanyut dalam dunia Ping). Untuk itu kusarankan, bila kau belum membaca, jangan dengarkan dulu, deh!

Keempat, latar tempatnya tidak asing buatku. Jakarta Selatan dan rumah-rumah besarnya, Lombok dengan Kuta Mandalika dan Pantai Segernya, juga Ombak Bono (meski belum pernah lihat langsung, tapi bertahun aku tinggal di Riau dan mengerti kenapa fenomena ini bisa ada alias berguna juga kuliahku Manajamen Sumberdaya Perairan xixi). Hanya satu tempat penting yang tidak akrab, Batu Karas, Cijulang (meski sudah berkali merengek ke suami untuk datang ke sana). Dengan lokasi yang akrab ini, jadi lebih mudah buatku memproyeksikan kejadian-kejadian penting di Rapijali sehingga ya wajar saja bila aku masuk begitu dalam hihi.

Kelima, isu-isu yang diangkat juga begitu relevan di masa sekarang. Perkara mengejar mimpi, kesehatan mental, sampai ke politik juga. Tiga isu ini penting sekali. Jelas sekali Ibu Suri ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa tiga hal ini perlu untuk kita renungi, perlu untuk kita pelajari, dan stigma-stigma buruk harus dihapuskan. Meski sudah berusia 27 tahun naskahnya, tetap mengikuti perkembangan zaman. Keren memang Ibu Suri.

Keenam, semua tokoh sama pentingnya. Kok bisa? Ya bisa. Tiga buku memberi ruang yang cukup untuk kita mengenali semua tokoh, sehingga kita merasa semuanya penting. Tidak ada yang bisa dihilangkan, karena semua memberi kesan masing-masing.

Ah sudah enam dulu, sudah cukup kan ya untuk menjadi alasan membaca? Yang pasti enam alasan ini cukup untuk membuatku menobatkan Rapijali menjadi trilogi paling sempurna yang pernah kubaca.

---

Selanjutnya, adalah catatan pribadiku. Pesan dan amanat yang kuambil. Ini bagian pentingnya, bukan?


Dari Rapijali, aku belajar bahwa tidak ada mimpi yang terlambat untuk diwujudkan. Selagi memang mau berusaha, mimpi itu akan menemukan jalannya. Pertanyaanya adalah, siapkah aku melangkah, mengejar, dan berjuang mencari jalan?

Dari Rapijali aku memahami betapa terkadang memaafkan itu begitu sulit, tetapi harus dilakukan. Ping membuatku menyadari, ternyata untuk memaafkan butuh keberanian yang begitu besar. Butuh nyali dan tekad yang tidak sembarang. Sulit, tetapi bukan berarti tidak bisa. Ping kemudian membawaku pada perenungan pribadi, tentang luka-luka yang kulupakan, kuabaikan. Tentang maaf yang tak juga kuberikan, yang kukira akan menghilang. Nyatanya ia masih bersarang di sana, menunggu keberanian dan kebulatan tekadku. Entah kapan.

Aku ingat sekali, satu kutipan yang sampai hari ini sering aku gaungkan di kepala, kurang lebih begini:

Butuh hati yang besar untuk merasakan duka dan bahagia sekaligus.

Waktu membaca, aku hanya melihat dari sisi cerita saja, tetapi setelah kupikir iya juga. Hanya hati yang besar yang bisa menampung tangis dan tawa, duka dan bahagia, sekaligus. Kita biasanya hanya bisa sedih saja atau senang saja, mungkin karena hanya segitu ruang di hati kita. Namun ketika kita memiliki hati yang besar, tentu akan ada ruang untuk merasakan keduanya. Contoh sederhananya, ketika kita dalam kompetisi. Kita mungkin hanya bisa sedih saja ketika kalah dan senang saja ketika menang. Hanya hati yang besarlah yang bisa merasakan keduanya sekaligus. Sedih ketika kalah, tetapi juga bahagia ketika melihat pemenang, begitu pula sebaliknya.

Ini akhirnya menjadi bahan renungan buatku. Sungguh benar sekali. Untuk itu, memiliki hati yang besar adalah cara untuk menemukan kedamaian.

---

Mungkin begini saja, namanya juga ulasan pribadi, ditulis tanpa mengindahkan aturan-aturan dalam membuat ulasan xixixi. Untukmu yang membaca sampai akhir, terima kasih ya. Semoga kamu menemukan kesenangan membaca, sebagaimana aku yang sungguh berbahagia saat menemukan Rapijali, trilogi paling sempurna yang pernah kubaca.


22.06 - 07/10/2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuliah Kerja Nyata Universitas Riau 2018

Dua pekan berlalu. Sampai saat ini aku masih biasa-biasa saja. Untuk itu ada baiknya kuceritakan saja cerita dua bulan penuh makna, dua bulan drama dengan manusia-manusia luar biasa. Kuliah Kerja Nyata judulnya. Judul yang boleh jadi berubah di akhir cerita. Baiklah kumulai saja kisahnya. Logo ! ___ Tim ini terbentuk sejak Januari lalu. Sudah lama sekali. Berbeda dengan KKN Reguler yang pendaftarannya dimulai sejak semester genap 2017/2018, pengumuman pembentukan Tim KKN Tematik dijadwalkan selesai sebelum akhir semester ganjil. 6/10 (awalnya : Aku; Geliska; Nada; Fany; Fadhel; Budi) dari kami adalah alumni JSP ( baca di sini ). Sisanya merupakan tim rekrutan oleh Fadhel (Diyah & Zaki), Rizki (Nada), Adi (Geliska). Sebagai manusia yang tidak sulit bergaul dan berteman, buatku tak soal. Selanjutnya bisa kau tebak, kami bertemu lalu mencari desa kemudian merancang program kerja dan ya jadilah ia sebuah Tim KKN TEMATIK Desa Sungai Ara, Kec. Kempas, Kab. Indragiri Hil...

Dikejar Monyet

Aku akan berkisah tentang pengalaman yang sangat luar biasa Yang kualami sendiri Hari ini, aku ada rapat di sekre BEM Universitas Riau. Persiapan acara nasional di bulan Maret nanti Dan kebetulan aku adalah CO Acara Seperti biasa, aku berjalan kaki dari kos Melewati jalanan kampus yang sepi Seharusnya aku sudah memposting sebuah tulisan yang kubuat hari Kamis lalu, tapi aku lupa Tentang monyet Namun tenang saja, ketika aku menulis kisah ini postingan itu sudah bisa kau baca Mungkin ini adalah teguran dari Allah Aku begitu sombong Kau boleh membacanya di sini Hari ini aku diberi sebuah pengalaman yang sangat luar biasa Entahlah bagaimana caranya menceritakan Tapi kau harus baca jika ingin tau Kembali lagi ke cerita hari ini Jika kau sudah membaca postinganku sebelumnya kau pasti sudah tau bahwa ada sebuah jalan yang harus dilewati jika ingin ke sekre, dan orang-orang yang lewat di jalanan tersebut sering melihat monyet, bahkan dikejar. Nah, sebagaimana yang kutul...

Lebaran Monyet

Aku lupa saat itu kami membahas apa. Entah sesuatu yang kujanjikan, atau yang benar-benar ia harapkan Tapi satu yang jelas kuketik di whatsapp adalah "Tunggu saja sampai lebaran monyet" Kau pasti pernah mendengar kan ungkapan tersebut ? Banyak ungkapan sejenis seperti "Tunggu saja sampai bulan jadi dua" atau "Tunggu saja sampai Eminem ngeluarin album religi" atau  "Tunggu saja sampai Justin Bieber duet bareng Opick nyanyiin lagu dangdut" Ya sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak akan terjadi. Kalaupun terjadi, hanya sedikit kemungkinannya atau bahkan akan menunggu sangat lama Menanggapi lebaran monyet tersebut bukan lah kesal atau protes darinya yang kudapat Melainkan sebuah foto yang membuatku tertawa terbahak-bahak Lebaran Monyet " Itu lagi lebaranan" Balasnya. Aduh ingin sekali kupeluk ia saat itu juga Menggemaskan sekali