Jika kau sudah membaca tulisanku ini kau pasti sudah tahu bahwa aku sudah berjanji untuk menaiki angkutan pertama yang lewat (selain angkot).
Dan kau tahu apa ? Bis Kota lah yang lewat.
Di menit yang sama ketika aku menulis postingan tersebut di halte Baby Home.
Aku tak bisa menahan senyum.
"Jangan pernah main-main dengan pikiran" kataku pada diri sendiri.
Ya, sebenarnya aku sudah lama ingin naik bis kota. Tapi aku selalu mengurungkan niatku.
Kau harus tahu bahwa satu-satunya kendaraan umum favoritku adalah Trans Metro Pekanbaru.
Bukan aku merasa sok berkelas atau apa (mana boleh naik kendaraan umum disombongkan) tapi bis kota hanya akan menjadi pilihan terakhir, jika aku tidak sanggup jalan kaki. Meskipun demikian aku tetap saja ingin mencoba. Aku tidak akan pernah tahu jika aku tidak pernah mencoba, begitu katanya. Jadilah, dengan nekat aku mengiyakan ketika kenek menanyakan apakah aku akan ke Pasar Sukaramai atau yang oleh warga Pekanbaru lebih akrab dengan Pasar Ramayana.
Aku sadar tidak ada jalan untuk mundur, jadi aku dengan mantap menaiki tangga tanpa pintu. Hanya aku dan seorang laki-laki, yang kukira mahasiswa menumpang siang tadi. Mungkin lebih baik ku review dulu bisnya.
Busnya :
Sebenarnya tidak jelek. Busnya ribut. Berkarat sudah pasti. Jangan tanya apa saja, intinya besi-besi. Kursi penumpang yang jumlahnya 27, 11 berpasangan dan 5 di barisan belakang tidak terlalu empuk. Banyak bekas coretan nama, penumpang iseng yang ingin berbagi kenangan-tanggal jadian, nama pacar-yang seharusnya merusak pemandangan, namun aku tersenyum. Tingkah manusia memang berupa. Baunya tidak tertahankan, bau bensin. Aku bahkan mewanti-wanti diriku agar tidak memuntahkan isi perutku yang belum makan apa-apa dari pagi.
Supirnya :
Ini lebih kepada oknum ya, aku tidak ingin menggeneralisir semua supir. Tapi dari yang tadi siang kualami supirnya tidak terlalu ugal-ugalan, namun jika dengan kecepatan tinggi itu sudah pasti. Aku tidak sadar karna tidur, tau-tau sudah sampai Jl. Arifin Ahmad, tertidur sebentar tau-tau sudah dekat pasar.
Yang paling membuatku kesal adalah ngetem. Ya sebenarnya tidak bisa kusalahkan juga, jika penumpangnya hanya sedikit, bisa rugi bandar. Aku tidak terburu-buru tadi, jadi tidak kudesak sang supir, tapi bagaimana jika yang sedang ada urusan ? Tapi yasudahlahya, nikmati saja.
Kembali ke perjalananku. Aku duduk di baris ke lima dari depan. Sendiri. Menghadap jendela. Sepertinya sang supir memiliki selera musik yang bagus, aku suka lagu-lagu pop Indonesia yang diputarnya, aku bahkan bermimpi dalam tidur. Sepertinya aku menimati ya ? Sungguh aku hanya mencoba untuk berdamai dengan keadaan, dengan suara bis yang ribut, perutku yang mual, angin sepai-sepoi rasanya memejamkan mata adalah pilihan terbaik.
Tiba-tiba di mimpiku yang kini sudah kulupakan ada seseorang yang membangunkanku. Rupanya sang kenek meminta ongkos. Kuberikan uang kertas berwajah Imam Bonjol. Sebelumnya aku sudah bertanya pada teman-teman seangkatanku lewat Line . Awalnya aku sedikit was-was. Karna ini kali pertama, aku takut dibodohi, diminta uang lebih misalnya. Untungnya teman-temanku benar, jadilah aku diberi kembalian uang logam bergambar melati dua buah.
Aku tertidur lagi. Nyenyak. Ajaibnya ketika terbangun sudah di Jalan Sudirman. Sangat tidak terasa. Kuputuskan untuk tetap terjaga, takut nanti tiba-tiba sudah di Panam.
Mungkin kali ini aku beruntung, aku tidak mendapat pengalaman buruk tentang bis kota. Jika sudah buruk di awal pasti tulisan ini akan penuh rasa kesal.
Ah ya, ingatkan aku untuk menulis tentang TMP vs Bis Kota ya.
Akan kuulas sedetail mungkin.
<3Anne
Komentar
Posting Komentar