Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2022

Meragukan lirik kesukaanku setelah sekian lama.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku meragukan lirik kesukaanku: Percayalah hati, lebih dari ini, pernah kita lalui. Ini adalah penggalan lirik dari lagu yang selalu menjadi penguatku, menjadi penyemangat, mengobati sendu sedanku. Liriknya relevan, semuanya. Tentang mimpi-mimpi yang dilambungkan untuk menjadi nyata, tentang rindu-rindu kepada keluarga yang harus dilupakan sementara, juga tentang diri sendiri yang menjadi satu-satunya harapan tersisa. Katanya, percayalah hati, lebih dari ini, pernah kita lalui. Kupikir, bisa jadi benar, hari-hari berat terjadi, dan sudah dilewati. Tangis malam hari, kesulitan dalam hidup yang tiada henti, juga janji-janji yang menunggu untuk ditebusi. Semua adalah lara, yang tentu saja bisa dinikmati.  Bertahun lagu ini menjadi mantra, bahwa aku bisa melalui semua, tak lagi perlu jauh melangkah, aku hanya perlu belajar, berdamai, untuk menikmati lara. Bertahun aku percaya, sedih hanya sementara, lara hanya sementara, duka hanya sementara, rind

memori

hal-hal manis bertahan di dalam hati, menghadirkan senyum malu-malu dan merah di pipi hal-hal menyedihkan bertahan di dalam hati, menghadirkan getir yang terkadang bercampur sesak kita tidak lagi hidup di sana, untuk itu adalah penting menjaga memori tersimpan rapi, bukan untuk disesali.

You'll Be In My Heart

 Berkali-kali aku berkhayal, lagu ini akan menjadi pengantar tidur untukmu nanti Akan kusenandungkan dengan pelan, menanti matamu menutup sempurna, untuk akhirnya kuakhiri dengan kecupan manis Berkali-kali aku bayangkan, lagu ini akan menjadi kesukaan kita berdua Dengan riang kita nyanyikan, sambil berpengangan tangan Berkali-kali aku ucapkan pada diriku, mungkin belum saat ini, tetapi imaji tentang momen yang tidak jadi nyata terus aku simpan Mungkin belum hari ini, mungkin kita belum bertemu kali ini, mungkin nanti, mungkin nanti ... https://www.youtube.com/watch?v=EfHLHdSxQA0

menangis.

 Aku sedang menangis, entah menangisi apa. Rasanya sedih dan sesak, dan tiba-tiba air mata berjatuhan tanpa bisa kukendalikan. Hidup ini memang begitu berat. Entah karena selama ini aku berpura-pura kuat, entah karena aku sibuk menipu diri hingga hatiku berkarat. Rasanya sedih sekali, entah apa. Aku takut menulis sesuatu yang nantinya akan kusesali, atau menulis tanpa berpikir jernih. Mungkin selama ini aku bersembunyi Berpura-pura kuat Lengah dan pada akhirnya tak lagi mengenali diriku sendiri Aku khawatir ini adalah firasat buruk, khawatir sekali.

Pengalaman Pertama.

Kemarin aku ke dokter dan untuk pertama kalinya dalam hidup aku dinyatakan keguguran. Sulit untuk menulisnya, tetapi bila tidak kutulis akan lebih sulit lagi untuk berdamai dengan keadaan. Teringat aku pada canda tawa dengan suami, khayal kami berdua, rumah impian yang tengah kami upayakan agar anak kami nanti tumbuh dengan nyaman. Nama-nama yang kami debatkan, metode pembelajaran yang mulai aku rancang, daftar sekolah mahal yang rasanya mampu kami bayar. Aku menangis karena bersedih hati, menangis untuk hal-hal yang sejatinya memang bukan milikku. Sejujurnya aku tidak menyangka akan mendapat diagnosis abortus. Ketika aku ceritakan keluhanku, dokter sudah menduga dua hal, ancaman keguguran atau memang telah keguguran. Setelah sesi diskusi, dilakukan USG abdomen (di perut), kantong rahim dan janin masih ada, tetapi detak jantung tidak terdengar, ini wajar karena USG abdomen belum bisa mendengar detak jantung bila kehamilan masih di bawah 12 minggu. Berikutnya dilakukan USG Transvaginal

Rapijali: Trilogi Paling Sempurna Yang Pernah Kubaca.

Dari sekian banyak cerita bersambung atau yang dibuat menjadi seri buku, Rapijali adalah trilogi paling sempurna yang pernah kubaca. Ada banyak yang kurasakan, beberapa akan aku tuliskan di sini. Sila lanjutkan membaca. Awalnya, yang membuatku tertarik membaca adalah Ibu Suri, Dewi Lestari menyampaikan bahwa untuk merampungkan Rapijali membutuhkan 27 tahun lamanya. Naskah ini dibuat ketika ia remaja, untuk kemudian terkubur, digantikan oleh karya-karya luar biasanya yang lain. Aku penasaran, kenapa membutuhkan waktu begitu lama? Apakah begitu kompleks ceritanya? Mungkin juga Rapijali memberi harapan kepadaku, bahwa selama apapun naskah itu terdiam, suatu hari bisa menjadi karya besar bila diberi kesempatan. Mungkin ini juga mengingatkanku pada mimpi untuk menjadi penulis novel terkenal. Oke oke kenapa malah jadi curhat? Ayo kembali fokus. Kemudian ketika aku mulai membaca, buku pertama, buku kedua, buku ketiga, SUMPAH RASANYA SUDAH LAMAAA SEKALI AKU TIDAK CANDU SEPERTI INI. Ya maksudku

sepertinya belum cukup.

Dari semua rasa sedih, ada beberapa yang begitu sulit untuk dilupakan dan dimaafkan. Ada yang membekas, seakan memberi tanda. Kukira mencintai diri sendiri cukup, atau jangan-jangan cintaku pada diri sendiri memang tidak cukup banyak dan belum seutuhnya?

tidak bisa lari.

Teringat aku waktu kecil dulu, rasanya aku belum sekolah. Aku menginap di rumah nenekku. Aku memang cucu kesayangan dari kecil, cucu pertama, perempuan, dan menggemaskan pula. Jadi sewajarnya saja aku dekat dengan nenekku. Seingatku malam itu aku sudah bertekad akan tidur di rumah nenek, usiaku empat tahun sepertinya, tidak harus selalu tidur dengan Mama. Seharusnya malam berlalu indah, aku tidak kesulitan tidur. Kemudian, aku mimpi buruk dan menangis sejadi-jadinya. Parahnya, aku berlari sekuat tenaga menuju Mamaku, yang waktu itu kami tinggal di rumah Uwo (Ibu Mama). Jaraknya memang tak jauh, rasaku tak sampai satu kilo, atau mungkin lebih ya? Nanti kuperiksa lagi. Akan tetapi, anak kecil lari bertelanjang kaki menangis sambil memanggil mamaku. Dramanya lagi, nenek ternyata mengajarku dari belakang, "Ane... Anee..." katanya. Ternyata juga Atuak mengejar dengan sepeda. Wah malam itu sepertinya keos sekali. Aku ingat setibanya di rumah Uwo Mama menenangkanku, aku teringat nen

rasa sedih dan luka masa kecil.

Aku ga yakin bisa selesai menulis ini dengan baik, ga yakin dengan penggunaan bahasa yang kupilih, jangan lagi majas pun kata konotasi. Aku menulis dengan perasaan sedih dan hati yang hancur. Tentang hal yang sudah lama kurasakan, tentang trauma masa lalu yang ternyata sampai hari ini belum terselesaikan. Hari ini aku menonton video yang membuat hatiku hancur, menangis begitu kencang, sampai saat ini, di malam hari aku masih menangis. Video ini tanpa sengaja muncul di instagramku, isinya tentang anak yang diedukasi ibunya untuk tidak merasa sedih bila ada temannya yang mengejeknya karena giginya lebih besar ukurannya daripada ukuran gigi anak normal biasa (giginya besar dan maju), ia bilang kalau ada yang mengejek ia merasa sedih dan di akhir video dia minta maaf untuk giginya yang jelek dan memohon untuk tidak berkata buruk tentang giginya tersebut. Aku sedih sekali, aku langsung menangis (sampai sekarang masih). Padahal aku tahu tidak perlu mengasihani anak tersebut, karena dia memil

dunia begitu jahat

Dunia ini terlalu jahat untuk anak-anak. Gimana ya caranya biar anak-anak bisa aman? Aman dari orang jahat, aman dari perundungan, aman dari kejamnya dunia. Aku takut  Konteks  https://www.instagram.com/reel/Cid9eBshu6R/?igshid=YzA2ZDJiZGQ=

Catatan Seorang Kakak.

Kalau mengikuti mauku, aku ingin menikah 2-3 tahun lagi, mungkin mendekati usia 30. Rasanya masih kurang sekali waktuku dengan adik-adikku. Tidak melihat mereka tumbuh besar, Tidak melihat mereka berkembang Tidak punya banyak waktu memperhatikan mereka satu per satu Mungkin menjadi anak pertama dari enam bersaudara begitu berat Begitu ramai Begitu penuh perjuangan Menjadi anak pertama dengan adik-adik yang masih kecil, rasanya aku selalu kurang Selalu kurang memberi mereka perhatian Selalu kurang memberi mereka kasih sayang Selalu kurang memberi mereka uang Selalu kurang memberi mereka kesempatan  Kalau mengikuti mauku, ingin aku lebih lama bersama mereka Mendengarkan cerita mereka Menjadi tempat mengadu, tempat belajar Aku begitu jauh Tidak bisa melihat mereka tumbuh besar Tidak bisa membersamai hari mereka Aku berhutang maaf kepada adik-adikku Pada Aji yang banyak berkorban untukku Pada Ara yang jarang aku perhatikan sejak adik kami bertambah setiap tahun Pada Jana yang begitu sulit

#CeritAnne di Surabaya: 7 Jam di Kota Pahlawan

Ketika diberi tugas untuk melakukan perjalanan dinas ke Situbondo, aku senang bercampur haru. Tujuan utamanya memang Situbondo, tetapi yang membuatku begitu bersemangat adalah Surabaya. Sudah lama aku ingin ke ibu kota provinsi paling timur di Pulau Jawa ini. Ada dua alasan yang membuatku begitu ingin ke Surabaya. Pertama tentu karena alasan historisnya, patung Sura dan Baya, Tragedi 10 November, juga Bung Tomo. Kedua aku ingin mengunjungi tempat Mei berada, melakukan napak tilas sebagaimana yang dilakukan oleh Borno dan Pak Tua (maaf ini #buatyangpahamaja heuheu). Kuatur perjalanan sedemikian rupa agar bisa aku mengunjungi kota yang dikenal sebagai Kota Pahlawan ini, agak panjang dan penuh drama (nanti kuceritakan), tetapi akhirnya bisa terwujud. Inilah perjalananku, tujuh jam singkat di Surabaya, sebuah upayaku untuk senantiasa mencintai Indonesia. 1. Mengunjungi Kawasan Ampel: Masjid Agung dan Makam Sunan Ampel Alasanku sesungguhnya ke sini adalah karena Pak Tua dan Borno yang minta

takut

Takut aku hatiku mati Tak merasa peduli dan minim empati Takut aku sibuk sendiri  Tak lagi rela membesarkan hati untuk mengorbankan diri Takut aku dipenuhi keegoisan Takut aku hatiku mati Takut aku kehilangan empati

annesa dan kenaifannya.

Aku begitu naif Mengira hidup seperti dongeng Cinderella atau Aurora. Berakhir indah, bahagia selama-lamanya. Terlambat aku menyadari, bahwa hari-hari tidak selalu berwarna, sebagaimana yang kukira. Aku begitu naif Mengira kisah seindah syair cinta. Hanyut aku oleh Kahlil Gibran dan pesonanya, juga oleh lagu-lagu cinta yang kusuka. Terlambat aku menyadari, bahwa ada banyak syair dan lagu-lagu sedih menyayat hati. Aku begitu naif, atau mungkin aku bodoh?

tidak juga belajar.

Kemarin hari yang berat sekali. Sebagaimana biasa, aku masih sama, gemar menunda-nunda. Tidak belajar dari yang lampau. Aku tidak tahu apakah hasilnya bisa kuterima, aku lelah sekali. Hati, jiwa, dan raga. Tadi malam aku sudah sampai di ibukota, nanti malam aku akan bertolak ke kota istimewa. Rasa-rasanya aku ingin menangis saja, ingin rehat sejenak dari huru-hara.

Semoga nanti kamu mengerti.

Kalau bukan hari ini, semoga besok-besok kau mengerti, bahwa ketidakadilan yang kau perbuat kepadaku menghadirkan sakit yang tak bisa diobati. Pernah kudengar, cara terbaik untuk melupakan adalah dengan menumpuk ingatan. Semoga rasa sakit, sedih, kecewa, marah, air mata, dan semua kehampaan segera diganti dengan hal-hal baik hingga yang tersisa hanya memori bahagia dan kesenangan. Kalau bukan hari ini, semoga kamu mengerti nanti ... Ahad, ashar.

Percakapan dengan Suami: Tentang Hati Yang Pernah Dipatahkan

 Teringat aku pada hati-hati yang pernah kupatahkan (dengan atau tanpa sengaja). Jangan salah paham dulu, aku bukannya petualang cinta, akan tetapi aku sadar bahwa terkadang tanpa kita sadari, ada hati yang pernah kita patahkan, yang bisa jadi juga kita ketahui belakangan. Timbul tanya dalam hatiku, bagaimanakah jadinya bila hati itu tidak pernah patah (olehku tentu saja), apakah kami bisa berteman baik dan bertegur sapa sewajarnya? Apakah aku bersalah pernah memberi harapan untuk kemudian kutinggalkan begitu saja? Kutanya pada suamiku, pernahkah ia merasa bersalah atas hati yang tanpa sengaja ia patahkan? Dengan enteng, ia menjawab, tidak. Kemudian dilanjutkannya, "Pertanyaan kamu salah, aku ga bertanggung jawab atas perasaan orang lain." Benar juga, kita tidak bertanggung jawab pada apa yang orang lain rasakan, sebagaimana orang lain juga tak perlu bertanggung jawab atas apa yang tengah kita rasakan.

Untuk Geliska dan Adi.

Untuk Geliska dan Adi yang sudah resmi menjadi suami istri. Sejujurnya aku ingin memberi ucapan lewat media sosial, tetapi aku tahu betul satu unggahan tidak akan cukup dan beberapa unggahan sekaligus akan mengganggu bila tak runut. Jadilah begini saja. Aku bisa bebas menulis apa yang kusuka. Oke begini. Mari kita awali dengan kekecewaanku karena tidak mendapat foto eksklusif pernikahan kalian berdua. Padahal sudah terbayang beberapa foto indah terpampang nyata untuk diriku seorang. Aku mengerti kalian sibuk dan aku tidak menyalahkan siapapun, aku hanya kecewa saja dan ini wajar, bukan? Akan tetapi ya sudahlah, cukup satu paragraf, akan kulanjutkan dengan betapa bahagianya aku melihat kalian berdua bersanding, tersenyum bahagia, dengan wajah sumringah yang membuatku ingin menangis saja. Wahai Adi dan Geliska, aku sungguh berbahagia untuk pernikahan kalian. Ada banyak doa baik, ada banyak harapan yang ingin kusampaikan, tetapi nanti, nanti saja di akhir kata. Sebelum itu aku harus jujur